Cerpen ini buatanku sendiri no copas untuk keperluan pribadi!
MERAJUT SEJUTA KENANGAN
Di
musim hujan yang lumayan lebat ini, Marsha termenung di jendela kamarnya, ia
merasa seperti ada yang kurang dari dirinya. Dia selalu bertanya-tanya dengan
hatinya, sehingga ia gelisah seperti ini. Malam mulai datang, ia pun segera
tidur.
Kringggg….. Alarm Marsha berbunyi
dan ia segera bangun dari tidurnya untuk segera mandi, di ruang makan ibunya
sudah menyiapkan sarapan untuk Marsha dan keluarganya. Ya, Marsha Westlake ini
tinggal bersama kedua orang tuanya dan seorang adik laki-laki, dan merupakan
keluarga yang cukup.
“Mah, masak apa hari ini?” tanya
Marsha kepada mamanya.
“Nasi goreng spesial soalnya Mamah
lagi libur kerjanya, jadi disempetin masak deh”, jawab mamanya dengan
tersenyum.
Marsha hanya mengangguk lega, ya
mamanya itu sebagai wanita karier yang
selalu sibuk dengan urusan bisnis butiknya. Untuk itu dia senang sekali jika
mamanya berada di rumah, karena ia bisa berkumpul dengan mamanya walaupun
kesempatan itu jarang sekali.
Setelah sarapan, Marsha berangkat ke
sekolah, sekolahnya merupakan favorit di kotanya, maka dari itu siswa siswinya
pun dari keluarga yang kaya. Marsha murid kelas 3 SMA, dia dikenal sebagai
orang yang cerdas di kelasnya tapi sangat minim jika disuguhkan dalam dunia
pergaulan. Ya, bisa dibilang, Marsha itu kurang bergaul aliyas kurang teman.
Alasannyapun masih bisa dikata masuk akal yaitu dia hanya ingin bergaul dengan
orang yang justru dari orang biasa yang tidak seperantara dengan dia, karena dia terbiasa hidup dengan tidak
selalu menghabiskan uang ibunya. Alasan yang kedua adalah dia tidak suka dengan
perilaku teman-temannya di kelas yang selalu menonjolkan harta kekayaan orang
tua, itu mungkin hal yang biasa dalam sejumlah orang-orang elit, tetapi menurut
Marsha itu terlalu berlebihan.
“Kaya sekarang itu nggak menjamin
masa depan kaliyan loh!” gumam Marsha dalam hati.
“Marsha, udah ngerjain tugas belum?”
“Udah, kenapa?”
“Enggak apa-apa, aku boleh lihat
tidak? Aku ingin membaca puisimu.”
“Oh boleh, ini,” kata Marsha sambil
memberikan puisinya kepada Amel.
“Wah, bagus ya,” puji Amel.
“Terima kasih mungkin ini efek dari
hujan semalam yang membawa hoki,” kata Marsha sambil tersenyum. Ya, Amel adalah
teman sebangku Marsha, dia selalu bersama Marsha jika ada waktu luang untuk
bersama.
Bel masuk berbunyi, guru pengajar di
kelas Marsha pun sudah masuk.
“Buka halaman 49, dan kerjakan soal
nomor 5 sampai 20.”
Seusai mengerjakan, para siswa
disuruh untuk keluar kelas dan menuju taman untuk membacakan puisi yang telah
mereka buat. Dan pada kali ini, Marsha mendapat pujian dari teman-temannya
karena ia termasuk siswi yang bagus dalam membacakan puisinya. Jam sekolah
akhirnya selesai, Marsha pun pulan seperti biasa dijemput oleh sopirnya. Dalam
perjalanan, tiba tiba sopir mengerem dengan mendadak, sentak Marsha terkejut
dalam lamunannya.
“Ada apa, Pak? Kok mengerem
mendadak?”
“Anu, Non. Bapak hamper menabrak
anak kecil.”
“Astaghfirullah,” kata Marsha sambil
dia bergegas turun dengan perasaan yang sangat tegang. Dilihatnya seorang anak
penjual koran sudah terjatuh tepat di depan mobilnya. Ia kaget lalu menanyakan
kepada anak tersebut.
“Maaf, maaf, kamu tidak apa-apa?”
tanya Marsha.
“Tidak, Kak, hanya luka sedikit
saja.”
“Aduh, kamu berdarah, saya akan bawa
kamu ke rumah sakit sekarang saja, ya?”
“Tidak usah ini tidak apa-apa.”
“Ya sudah, ayo saya antar kamu
pulang saja.”
“Tidak usah kak, saya masih mau
berjualan lagi soalnya tadi belum dapat pembeli.”
“Ya sudah, saya beli Koran kamu
saja, ini,” kata Marsha sambil memberikan uang senilai Rp 50.000,00 kepada anak
itu.
“Kak itu terlalu banyak, saya tidak
punya kembalian.”
“Sudah ambil saja, sekali lagi saya
minta maaf, ya sudah saya pulang dulu.”
“Terima kasih, Kak,” kata anak itu
sambil tersenyum.
Marsha tersenyum dan ia kembali
meneruskan perjalanan pulang. Di perjalanan ia berusaha berpikir tentang apa
yang dilakukan si anak tadi, walaupun dia masih kecil tapi dia semangat untuk
bekerja demi kelangsungan hidupnya. Marsha terharu dan tak disadari air matanya
menetes dan langsung mengusapnya agar tidak ketahuan oleh sopirnya.
“Oh ya, nama bocah tadi siapa ya?”
gumam Marsha dalam hati, kesal karena ia kelupaan untuk menanyakan nama anak
yang tertabrak tadi.
Sesampainya di rumah, dia
menceritakan kejadian yang telah dialaminya tadi.
“Assalamualaikum, Mah.”
“Wa’alaikum salam, Marsha. Lho kok
pulangnya telat, ada apa?”
“Tadi pak sopir tidak sengaja
menabrak anak kecil penjual koran.”
“Apa? Terus bagaimana, Marsha? Apa
mobilnya tidak apa-apa?”
Dengan heran, Marsha menjawabnya
dengan menggelengkan kepala, apa maksud mamanya tadi, apa mamanya tidak peduli
dengan keadaan anak tadi, Marsha benar-benar tidak menyangka bahwa mamanya
tidak mempunyai rasa kasihan terhadap anak itu. Kemudian, dia pun langsung
menuju ke kamarnya dengan rasa yang agak kesal dengan mamanya, dan ia sempatkan
tidur sejenak.
Satu minggu lagi, Marsha akan
menghadapi Ujian Nasional tingkat SMA, dia begitu antusias belajar demi
mengejar cita-citanya sebagai seorang penulis. Bahkan dia telah berencana
membuat novel, ia bersekolah dengan rajinnya. Seperti biasa orang tuanya jarang
sekali ada di rumah, jadi ia belajar sendiri. Orang tua Marsha beranggapan
bahwa Marsha anak yang cerdas.
Akhirnya UN datang juga, para siswa
sangat antusias untuk berlatih mengerjakan soal yang sekiranya akan keluar pada
saat ujian waktu itu.
“Ya Allah semoga hamba mendapatkan
hidayah untuk mengerjakan soal dengan mudah dan tenang,” doa Marsha dalam
hatinya. Dalam setiap soal, ia dapat mengerjakannya dengan keadaan yang tidak
grusa-grusu. Beberapa hari belalu akhirnya UN telah selesai dan para siswa akan
menunggu pengumuman hasilnya yang akan dipublikasikan pada satu bulan setelah
UN selesai.
Sembari menunggu pengumuman, Marsha
membuat kesibukan dengan meneruskan karya tulisnya yang berbentuk novel. Ia
mengembangkan kembali karyanya dan ia mengambil tema menurut kisahnya sendiri.
Hari itu adalah hari pengumuman
sudah diberitakan, Marsha telah mendapatkan pemberitahuan ia lulus dan ia
terkejut dengan nilai ujiannya yang memuaskan, tak disangka dia menempati peringkat
1 dalam kelasnya. Lalu ia pulang ke rumah dengan senangnya.
“Mamah, papah, aku lulus dengan
nilai bagus.”
“Iya mamah percaya kamu pasti bisa,
mama dan papa janji akan mengajak kamu liburan, tapi jangan sekarang ya Mamah
harus pergi ketemu client.”
“Tapi, Mah, apa nggak ada waktu
sekarang aja sama Marsha?”
“Harus sekarang? Aduh, plis Marsha,
mama lagi sibuk ini.”
“Papa mana, Mah?”
“Papah lagi ke luar kota ngurusin
kerjaannya, ya udah mama pergi dulu ya, bye,”
sambil mengecup dahi Marsha dan pergi.
“Hati-hati, Mah,” Marsha sedih
mengucapkan kata itu.
“Bukan ini yang Marsha harapkan,
Mah. Marsha cuman pengen kasih sayang dari mamah, tidak lebih,” katanya dalam
hati sambil menangis agar ia lega.
Seminggu kemudian, orang tuanya
sudah bebas dari kesibukan bisnis mereka. Untuk itu mereka mengajak Marsha dan
adiknya untuk pergi liburan ke kota Batu, Malang. Ini juga merupakan hadiah
untuk Marsha.
“Marsha, ayo kita berangkat.”
“Iya, Pah,” sambil mendorong
kopernya itu.
Sesampainya di mobil ia merasa tidak
enak dengan perjalanannya, hatinya sering kali merasa cemas.
“Aduh, ada apa ini ya, perasaanku
tidak enak.”
Tak lama mobil berjalan, tiba-tiba
di salah satu perempatan yang dilewati mobil keluarga Marsha, ada mobil lain
yang lewat dan braakk….. terdengar sangat keras, mobil Marsha mengalami
kecelakaan hebat dengan sebuah mobil lain. Jalan-jalan sekitar macet akibat
kecelakaan maut tersebut. Keluarga Marsha segera dilarikan ke rumah sakit agar
mendapatkan perawatan intensif. Ternyata benar apa yang dirasakan Marsha
sebelum berangkat itu benar.
Di ruang UGD Rumah Sakit Batavia,
Jakarta, keluarga Marsha dan Marsha sendiri dirawat dengan intensif.
“Di mana aku? Di sini kelihatan
gelap,” kata Marsha yang tengah sadar dan mencoba untuk membuka kedua matanya.
“Em, Marsha, kamu tenang saja, aku
di sini untuk menemanimu,” kata seorang pemuda.
“Siapa kamu? Kenapa aku tidak bisa
melihat apapun?”
“Sebentar, saya panggilkan dokter.”
“Ya Allah ada apa ini? Kenapa aku
sama sekali tidak bisa melihat apa-apa? Apakah ini mimpi? Atau aku sudah menuju
jalanmu?” Marsha bertanya-tanya dalam hati.
“Saya akan bicara kepada kerabat
atau saudaranya,” kata seorang dokter yang memeriksa keadaan Marsha.
“Saya temannya, Dok.”
Kedua pemuda itu langsung menuju
ruang dokter untuk membicarakan keadaan Marsha yang tak bisa dipungkiri lagi,
karena kejadian kecelakaan maut tersebut, mata Marsha tidak berfungsi
semestinya. Dia sekarang buta, oleh sebab itu ketika ia membuka kedua matanya
ia tidak bisa melihat apapun di sekitarnya.
“Dok, saya mohon, tolong sembuhkan
Marsha.”
“Maaf ini hanya bisa dilakukan
dengan cara mendonorkan kornea mata seseorang dan dipindah ke mata Marsha.”
“Apakah tidak ada cara lain, Dok?”
“Hanya itu cara satu-satunya.”
Pemuda itu pun lalu bergegas menuju
ruangan Marsha. Sambil berjalan ia bingung bagaimana cara mendapatkan kornea
mata untuk menggantikan kornea mata Marsha.
“Apa yang terjadi padaku? Apakah aku
buta? Iya?”
“Maafkan aku, Sha, iya sekarang
kornea mata kamu rusak akibat kecelakaan itu,” jelas pemuda itu.
“Sekarang jelaskan padaku, siapa
kamu sebenarnya?”
“Aku Titan, aku anak dari sahabat
orang tua kamu, sedangkan orang tuaku berdomisili di Amerika.”
“Kenapa kamu bisa tau apa yang aku
alami sekarang?”
“Aku mendapat kabar dari saudara mama
kamu.”
“Lalu, mama sama papaku, di mana
mereka?”
“Seharusnya aku nggak bisa bicara
denganmu dalam kondisi seperti ini, tapi tidak bisa disembunyikan lagi, selain
kamu kehilangan indera penglihatan kamu, kamu juga kehilangan orang tua dan
adik kamu, Marsha,” jelasnya.
“Katakan padaku kalau kamu bicara
bohong, iya, kan? Hiks hiks,” Marsha menangis dengan sedihnya bahwa dia telah
kehilangan keluarganya.
Semenjak itu, dia menjadi perempuan
yang pendiam, dan tidak mau bertemu dengan orang siapapun itu, dia merasa
kesepian, hingga akhirnya, salah satu dokter yang sedang praktek di rumah sakit
tersebut berusaha untuk menghibur dan menguatkan hatinya agar ia tidak memurung
diri.
“Hai, Marsha, kenapa sih kamu selalu
murung, padahal kamu masih diberi kesempatan waktu untuk berada di dunia lagi
lho,” kata Wahyu, dokter praktek yang berusaha menguatkan Marsha.
“Coba deh kamu bayangin, rasanya
kehilangan keluarga yang sangat kamu cintai di waktu yang seperti ini.”
“Aku tau, tapi sedih yang terus
menerus itu nggak baik, daripada kamu mengurung diri di sini, ayo ikut aku kita
jalan-jalan di taman,” ajak Wahyu.
Dengan tersenyum, Marsha pun
menjawab, ”Iya aku ingin menghirup udara segar di sana, tapi kamu mau kan
menuntun aku agar aku sampai di taman.”
“Iya pasti lah aku akan lakukan
untuk kamu, ayo sekarang kamu berdiri.”
“Terima kasih ya, Wahyu,” senyum
Marsha terukir indah di bibirnya.
Nampaknya, Marsha mulai merasa
nyaman dengan kehadiran Wahyu yang selalu menemaninya setiap waktu. Begitupun
dengan Wahyu, sepertinya dia mulai ada rasa dengan gadis itu. Sesampainya di
taman, Wahyu dan Marsha duduk di kursi taman, mereka tampak bahagia. Walaupun
keadaan Marsha buta, tetapi dia masih bisa tersenyum dengan layaknya, mungkin
dia sudah melupakan kejadian yang baru saja ditimpa oleh keluarganya.
“Ya, biasanya kalau aku lagi bête
ya, tempatku di sini ini.”
“Tempat kamu juga cocok buat orang
buta kayak aku.”
“Nggak gitu juga sih, aku ngajak
kamu di sini agar pikiran kamu bisa refresh, tidak terlalu banyak beban pikiran
yang kamu tanggung,” kata Wahyu dengan melontarkan senyumnya.
Tituut tituutt…. Terdengar handphone Wahyu berbunyi dan
diangkatnya. Ternyata yang telepon adalah dokter memeriksa Marsha, dan ia
bilang bahwa ada tantenya Marsha yang menjenguk dan sekaligus untuk dibawa
tinggal bersamanya di rumah Marsha. Mendengar kabar itu, Marsha sangat bahagia,
tantenya masih peduli kepadanya, tantenya lah yang akan merawat Marsha selagi
dia dalam keadaan masih shock. Lalu,
Wahyu dan Marsha segera untuk menemui dokter dan tantenya Marsha.
“Terima kasih, Dok, sudah memberi
perawatan kepada keponakan saya, oh ya saya minta kertas tebusan untuk menebus
biaya rumah sakit Marsha,” kata tantenya.
“Oh kalau itu sudah ditebus oleh
pemuda yang katanya anak dari sahabat orang tua Marsha, Ibu. Namanya kalau
tidak salah Titan.”
“Titan? Siapa ya? Emm ya sudah
terima kasih kalau begitu, Dok, saya akan membawa Marsha pulang hari ini.”
“Jangan lupa untuk selalu ke sini
agar kami bisa memantau perkembangan Marsha,” kata dokter dan tantenya Marsha
pun ikut mengangguk dan tersenyum.
Sesampainya di depan ruangan, Wahyu
mengucapkan selamat tinggal kepada Marsha.
“Marsha, kamu hati-hati di rumah
ya.”
“Iya, terima kasih atas nasihatnya,
aku akan sering-sering ke sini,” jelas Marsha dengan melambaikan tangan kepada
Wahyu.
“Saya tahu, kamu pasti ada rasa kan
sama Marsha,” kata dokter sambil memancing Wahyu.
“Ah dokter bisa saja,” katanya
sambil meninggalkan dokter.
Sesampainya di rumah, ia dihibur
oleh Tante Tiara, ia diberi semangat oleh tantenya agar dapat menjalani hidup
dengan semestinya walaupun dia kehilangan indera penglihatannya. Dia berusaha
untuk tetap tegar dalam menghadapi berbagai cobaan yang diberikan.
Setiap hari Marsha diantar oleh
tantenya untuk cek kondisi Marsha, dan setiap hari pula Marsha bertemu dengan
Wahyu. Mereka selalu mengungkapkan kesenangan maupun kesedihan yang dialami.
“Hei, Marsha, bagaimana keadaan kamu
sekarang? Semakin baik, kan?”
“Eh Wahyu, iya mataku juga udah agak
baikan enggak sakit lagi seperti dulu.”
“Syukurlah, oh ya, hari ini kamu
sibuk, nggak? Aku mau ajak kamu makan siang, mau?” ajak Wahyu.
“Boleh, Wahyu, aku nggak pernah ada
kesibukan.”
Teett…Tettt… Tiba-tiba ada suara
klakson mobil yang berada di depan rumah sakit, ternyata pemuda itu adalah
Titan, yang akan menjemput Marsha sepulang berobatnya. Lalu Marsha pun bingung
karena tadinya dia diajak Wahyu untuk makan bersama, tetapi Titan datang di
saat yang kurang tepat.
“Sha, itu ada Titan menjemput kamu.”
“Hah? Titan? Aduh, aku kan udah
janji sama kamu buat makan siang bersama, bagaimana ini?”
“Hai, Marsha ayo kita pulang pasti
tante kamu udah nunggu di rumah,” kata Titan yang tiba-tiba menghampiri Marsha.
“Ehh Titan, aku…”
Belum selesai Marsha bicara, Wahyu
pun menyahut, ”Sudah kamu pulang saja, nanti tante kamu nungguin lho, kalau
makan siang sama aku kan bisa diundur.”
“Maaf ya, Wahyu,” kata Marsha sedih.
“Ayo, Marsha,” ajak Titan pulang.
“Iya.”
Di perjalanan, Titan menceritakan
perjalanan hidupnya kepada Marsha, dia bilang bahwa orang tuanya lah yang
menyuruhnya untuk menemui Marsha. Saat itu, Marsha begitu percaya dan akhirnya
mereka berteman. Jujur saja di dalam hati Marsha merasa ada yang tidak beres
dalam kejadian ini, tapi dia tak tahu apapun.
Titan juga bertanya-tanya kepada
Marsha mengapa jika Marsha ke rumah sakit, pasti dia selalu bersama Wahyu, dan
sering kali membicarakan hal penting yang Titan tidak mengetahuinya. Tetapi
Titan mencoba untuk jangan bertanya seperti itu, takut Marsha akan marah kepadanya.
Sebenarnya dia cemburu dengan Wahyu yang selalu ada di samping Marsha.
Sesampainya di rumah Marsha, mereka
langsung masuk dengan Titan menggandeng tangan Marsha, tantenya mempersilakan
Titan masuk dan berbincang-bincang sebentar. Dari perbincangan tersebut Marsha
mendengarkan dari pintu kamarnya, bahwa setiap hari dia harus diantar jemput ke
rumah sakit oleh Titan, Marsha sangat sedih, dia tak tahu apa yang harus ia
lakukan sekarang.
“Tante kasihan sama komputer ini
yang sudah lama tidak kamu pakai,” kata Tante Tiara sambil memegang komputer
Marsha.
“Ah, Tante, jangan ingetin Marsha
tentang itu dong, kan Marsha kangen bikin novel yang udah lama nggak aku
terusin.”
“Iya, Tante tau, oh ya udah malam,
ayo kamu tidur.”
Keesokan harinya pada saat di rumah
sakit, Wahyu berbicara dengan dokter yang dekat dengannya. Mereka membicarakan
keadaan Marsha yang semakin hari sepertinya dia terpukul dengan kekurangannya.
“Dok, saya ingin mendonorkan kornea
mata saya untuk Marsha,” kata Wahyu yakin.
“Wahyu, kornea mata seseorang sangat
penting bagi mata orang itu sendiri, coba pikir lagi, apa kamu yakin?”
“Saya yakin, Dok, saya ingin melihat
Marsha bahagia.”
“Baiklah saya akan usahakan.”
Mereka menyetujui dengan keputusan
Wahyu.
“Marsha.”
“Wahyu, ada apa?”
“Aku mau mengajak kamu di taman.”
“Iya aku mau.”
Sesampainya di taman, mereka duduk
seperti biasa di kursi yang ada di sana, Wahyu melihat Marsha, tetapi Marsha
tidak melihatnya karena dia tidak tau dengan keberadaan Wahyu. Tetapi baru saja
mereka berbincang, terdengar bunyi nada dering Marsha yang ternyata itu Titan.
Marsha akan dijemput tetapi dia harus berada di seberang jalan agar tidak
kejauhan. Dan, Marsha pun menyetujui akhirnya diantar oleh Wahyu untuk
menyebrang jalan depan rumah sakit. Marsha yang menggunakan tongkat itu
berlatih untuk mengingat jalan, sesampainya di seberang jalan, Wahyu
mengucapkan selamat tinggal kepada Marsha yang akan pulang.
Tetapi pada saat Wahyu hendak
menyebrang tiba-tiba braakkkk…………. Dia tertabrak mobil ketika ia tengah
menyebrang. Marsha yang mendengar kejadian itu tampak gelisah, dia tak tahu
siapa yang telah mengalami kecelakaan itu, pikirannya hanya kepada Wahyu, apa
jangan-jangan, Marsha tidak tahu pasti. Banyak orang yang menolong Wahyu dalam
kecelakaan tersebut. Tak lama dari itu, akhirnya Marsha dijemput oleh Titan dan
pulang ke rumah dengan perasaan yang tidak enak.
“Ya Allah, apakah yang terjadi tadi?
Semoga Wahyu tidak apa-apa.”
Setelah itu Marsha tidur untuk
menenangkan pikirannya, yang harus ia lakukan besuk harus mengecek keadaannya
lagi di rumah sakit, dan memastikan Wahyu tidak terjadi apa-apa. Tetapi,
tuuuuttt…tuuuuttt… Nada dering handphone
Marsha terdengar lalu diangkatnya. Ternyata itu adalah dokter yang merawat
Marsha sepanjang hari ini, dia mengatakan bahwa ada orang yang mau mendonorkan
kornea matanya untuk Marsha, Marsha pun tersenyum lalu dengan sigap ia mau
menerima tawaran dari dokter. Hatinya sangat senang, ada orang yang mau
mendonorkan kornea mata untuknya, dianggapnya orang itu pasti orang yang sangat
peduli dengan penderita orang cacat.
Keesokan harinya, Marsha di rumah
sakit diantar oleh Titan dan hari itu juga ia akan melakukan operasi pemasangan
kornea mata.
“Sudah siap untuk melakukan operasi,
Marsha?”
“Siap, Dok.”
Akhirnya operasi dilakukan dan
dokter beserta suster sudah merencanakan untuk hasil yang sempurna dalam
operasi kali ini. Dengan rasa yang was-was Marsha pun menjalaninya. Beberapa
jam berlalu akhirnya operasi selesai dan untuk hasil terbaik, mata Marsha
ditutupi dengan kain dan baru bisa dibuka sehari setelah menjalani operasi.
Hari berikutnya di rumah sakit, setelah mengecek keadaannya
sekaligus membuka kain yang ditutupi di matanya. Marsha tampak senang karena
sebentar lagi ia dapat melihat dengan sempurna, dan orang pertama yang ingin ia
temui adalah Wahyu. Tetapi setelah kain terbuka, tidak ada Wahyu di sana, yang
ada hanya Tante Tiara dan Titan. Akhirnya Marsha bisa melihat seperti orang
layaknya. Tapi dia menyesal, tidak ada Wahyu di sampingnya dan ia segera
pulang.
“Wahyu, kenapa kamu tidak
menjengukku?”
Tante Tiara memberikan saran kepada
Marsha agar menenangkan diri dulu, dan jangan berpikir yang berat. Karena
setiap hari dia harus periksa keadaan matanya di rumah sakit. Dan itulah
kesempatannya untuk mencari Wahyu.
“Bagaimana keadaannya, Sha?”
“Lebih baik, Dok, terima kasih sudah
mau memeriksa saya setiap hari, tanpa dokter saya belum tentu bisa melihat lagi
seperti ini.”
“Jangan berterimakasih kepada saya,
saya hanya sebagai penyalur saja, terima kasihlah kepada Tuhan,” kata dokter
dengan tersenyum.
Lalu Marsha pergi ke taman dan duduk
seperti biasa, tujuannya kali ini ingin bertemu dengan Wahyu. Tak lama setelah
itu, muncul sosok Wahyu yang wajahnya sangat asing bagi Marsha, dan mereka pun
berbincang.
“Hai, Marsha, seneng nih udah bisa
melihat lagi.”
“Wahyu? Kamu Wahyu? Kenapa kamu
nggak datang saat aku operasi? Padahal aku berharap kamu itu yang aku lihat
pertama kali.”
Dengan tersenyum menyembunyikan
sesuatu, Wahyu menjawab, “Maafkan aku ya, Marsha, kemarin ada acara mendadak di
kampusku.”
“Oh, aku berterimakasih banyak lho
sama orang yang mau mendonorkan korneanya buat aku.”
“Syukurlah, pasti orangnya bahagia
juga kalo ngelihat kamu bisa melihat lagi.”
Mereka berdua tertawa bersama, menghabiskan
waktu bersama. Saat itu Wahyu hampir ingin menyentuh tangan Marsha, tetapi
keinginannya seakan-akan ditunda seperti orang yang sedang menyembunyikan
sesuatu, dia tak mau Marsha akan sedih bila dia melakukan ini kepada Marsha.
Tetapi baru rasanya ngobrol sebentar, tetapi Marsha sudah dijemput oleh Titan,
dan Wahyu mempersilakan Marsha untuk pulang. Lalu Marsha mengucapkan selamat
tinggal kepada Wahyu dengan melambaikan tangan. Titan tampak bingung siapa yang
mengajak Marsha melambaikan tangan seperti itu, dia tidak melihat siapa-siapa
di dekat Marsha, mungkin itu hanya halusinasinya semata. Sepulangnya di rumah,
Marsha lalu menuju kamar dan meneruskan novel yang dibuatnya, novel itu
terinspirasi dari Marsha sendiri saat bersama-sama dengan Wahyu.
Hari selanjutnya ini adalah hari
terakhir untuk dia periksa di rumah sakit. Lalu dia terlebih dahulu menemui
Wahyu.
“Hai, Wahyu, mau ke mana?”
“Marsha! Emmm …aku mau ke ruang
sebelah ada pasien yang memerlukan bantuan.”
“Aku temenin boleh?”
“Maaf, Marsha, tapi ini menyangkut
kecelakaan serius.”
“Oh ya sudah lah, aku juga mau
menemui dokter.”
Wahyu pun tersenyum dan melanjutkan
jalannya. Ketika itu dokter yang sedari tadi memerhatikan perilaku Marsha,
terlihat aneh dan langsung menghampiri Marsha.
“Marsha, bisa ikut ke ruangan saya
sebentar?”
“Oh ya, Dok, saya juga ingin bertemu
dokter.”
Di
ruang dokter…………….
“Begini, Marsha, saya mau Tanya,
tadi yang kamu ajak bicara itu siapa?”
“Masak sih dokter tidak tahu, tadi
kan saya bicara dengan Wahyu, oh apa tadi gara-gara dia buru-buru jadi dokter
tidak melihatnya.”
“Maafkan saya, Marsha, ini memang
butuh waktu lama untuk menjelaskan ini kepadamu, tapi hal ini kamu harus tahu.”
“Mau menjelaskan apa, Dok?” tanya
Marsha agak penasaran.
“Sebenarnya Wahyu itu sudah
meninggal sehari sebelum kamu melakukan operasi mata kamu, dan sebelumnya dia
mengatakan kepada saya bahwa dia ingin sekali mendonorkan kornea matanya untuk
mengganti kornea matamu yang rusak. Dan ketika ia meninggal karena kecelakaan,
saya melaksanakan amanat yang dia inginkan semasa hidup.”
“Dokter hanya bercanda kan tentang
ini? Wahyu tidak mungkin meninggal, saya kemarin dan hari ini masih bersama
dia, kami jalan bersama, kami ngobrol bersama. Jadi dokter tidak udah membuat
saya gelisah seperti ini.”
Air mata Marsha pun tumpah meluah
mendengar pernyataan bahwa Wahyu sudah meninggal, dia tidak kuat menghadapi
ini. Tiba-tiba Wahyu muncul di balik kaca ruang dokter, dia tengah menundukkan
kepala tanda bahwa dia telah menyesal.
“Mengapa di saat aku sudah bisa
melihat lagi dia malah tidak menjadi manusia lagi, mengapa ini harus terjadi?
Aku menyayanginya,” kata Marsha dalam hati.
Akhirnya dia berlari ke kursi taman
yang ia gunakan duduk bersama dengan Wahyu, dia mengingat sejuta kenangan yang
telah dia lakukan bersama Wahyu di sana. Dia tak percaya dengan kenyataannya
bahwa Wahyu sudah tidak ada. Kemudian, Wahyu mendatangi Marsha, dan Marsha
terlihat agak kaget melihat Wahyu.
“Maafkan aku, Marsha, iya dokter
benar, aku memang sudah meninggal saat aku menyeberang kembali ke rumah sakit
seusai mengantar kamu untuk menyeberang, kejadian itu terjadi begitu saja.”
“Wahyu, aku sayang sama kamu, kenapa
kamu secepat ini meninggalkan aku?”
“Ini sudah takdir, Marsha, aku akan
selalu di samping kamu dan selalu menemani kamu dalam keadaan apapun itu.”
Wahyu yang ingin sekali memegang
tangan Marsha, tetapi dia tidak bisa melakukannya, dikarenakan badannya yang
tembus pandang. Dia hanya menatap Marsha dalam-dalam dan tak terasa, Marsha pun
meneteskan air mata lagi, dia tak kuat jika harus seperti ini. Tapi takdir
berkata lain, Wahyu yang dulu selalu menggandeng tangan Marsha untuk berjalan,
tetapi sekarang dia hanya bisa melihat saja tanpa melakukan sesuatu. Tapi waktu
berjalan begitu cepat, Marsha pun akhirnya dijemput oleh Titan.
“Marsha, kamu itu sudah gila ya?
Masak tadi aku lihat kamu ngomong dan main sendiri di taman?” sentak Titan.
“Ayo kita pulang saja.”
Sesampainya di rumah, Marsha
langsung ke dalam dan disusul oleh Titan.
“Marsha! Asal kamu tahu aku suka
sama kamu.”
“Maaf aku hanya sayang sama Wahyu,
bukan kamu.”
“Marsha! Apa kamu nggak tahu kalau
Wahyu udah mati dari dulu, dia udah nggak ada di sini lagi, jadi kamu nggak
usah bicara soal Wahyu saja!” bentak Titan terhadap Marsha.
“Apa maksud kamu, haa? Memang Wahyu
udah meninggal tapi dia masih ada sama aku.”
“Itu nggak mungkin, Marsha, kamu
yang gila, selalu berpikiran bahwa Wahyu itu masih ada. Asal kamu tahu, yang
nabrak Wahyu saat itu ya aku, aku kesel sama dia, aku cemburu kalo dia deket
sama kamu, sedangkan aku? Aku nggak pernah bercanda tawa sama kamu sedikitpun
itu,” celoteh Titan mengungkapkan semua apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa? Jadi kamu yang menabrak
Wahyu?” kata Marsha yang membentak Titan.
“Iya, lalu apa kamu tahu yang
menabrak mobil keluarga kamu? Itu aku, Marsha, itu aku. Untuk itu aku membalas
kejadian itu dengan memerhatikan keadaanmu, dan semakin aku dekat sama kamu
semakin aku sayang dengan kamu,” senyum picik Titan melebar di bibirnya.
Marsha tidak habis pikir, ternyata
sepicik itu Titan kepadanya. Saat itu roh Wahyu menolong Marsha, dan dipukullah
dia dengan kayu yang dibawa Wahyu. Akhirnya Marsha selamat dari kekerasan yang
mengakibatkan dia terjatuh dari tangga.
Lalu Titan dibawa ke kantor polisi,
dan Wahyu menjelaskan kepada Marsha bahwa Marsha bisa melihat Wahyu karena dia
memakai kornea mata Wahyu. Waktu Wahyu di dunia akhirnya berakhir, mereka
berdua terpisah dengan keadaan yang sama-sama tenang, dan sama-sama bahagia.
Novel Marsha yang berjudul “Rahasia Mata Wahyu” pun laris dengan isi kisah
nyata dari Marsha dan Wahyu.